this is my final assignment at islam and psychology
i was stressed when this deadline come so fast but i didn't write anything -_-
i tried to write something. and finaly this is what i wrote
------------------------
PUASA DALAM
PERSPEKTIF PSIKOLOGI
Oleh : Laily
Inayah (1110070000014)
PENDAHULUAN
Sebelum membahas tinjauan psikologis mengenai puasa,
lebih dahulu harus kita sadari bahwa puasa adalah tindakan ibadah. Sebagai
tindak ibadah yang digolongkan pada rukun keempat dari Rukun Islam yang kelima,
puasa merupakan salah satu bentuk pengabdian dan cara mendekatkan diri kepada
Allah SWT yang pada dasarnya adalah pekerjaan ruhani, sekalipun dalam pelaksanaannya juga
melibatkan perbuatan jasmani, kejiwaan dan sosial. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 183
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu
bertakwa."
Inti perintah untuk menjalankan ibadah puasa bagi umat islam
adalah pengendalian diri atau self-control.
Pengendalian diri merupakan salah satu komponen utama bagi upaya perwujudan
kehidupan jiwa yang sehat.
Dalam perspektif ilmu psikologi dan kesehatan mental,
kemampuan mengendalikan diri merupakan indikasi utama sehat tidaknya kehidupan
rohaniah seseorang. Orang yang sehat secara kejiwaan akan memiliki tingkat
kemampuan pengendalian diri yang baik, sehingga terhindar dari berbagai gangguan jiwa ringan apalagi yang
berat. Manakala pengendalian diri seseorang terganggu, maka akan timbul
berbagai-reaksi-reaksi pathologis dalam kehidupan alam pikir (cognition), alam
perasaan (affection) dan perilaku (psikomotorik). Bila hal ini terjadi maka
akan terjadi hubungan yang tidak harmonis antara diri individu dengan dirinya
sendiri (conflik internal) dan juga dengan orang lain yang ada di sekitarnya.
Dengan demikian maka orang yang jiwanya
tidak sehat keberadaannya akan sangat mengganggu dirinya sendiri, juga
menggangu lingkungan sekitarnya. Puasa dan Pengendalian Diri “Puasa itu
bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum. Akan tetapi sesungguhnya
puasa itu adalah mencegah diri dari segala perbuatan yang sia-sia serta
menjauhi perbuatan-perbuatan yang kotor dan keji.” (Hadist Riwayat Buhari).
PENGERTIAN PUASA
Saum atau puasa dalam islam secara bahasa artinya menahan
atau mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan
minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit
fajar hinggalah terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan
ketakwaan seorang muslim.
MANFAAT PUASA
Allah SWT mewajibkan puasa pada bulan
Ramadhan, bulan dimana Al-Qur’an diturunkan, karena puasa itu memiliki
pengaruh-pengaruh yang positif dan manfaat-manfaat yang besar di dunia dan di
akhirat. Puasa itu dapat mengendalikan jiwa dan memadamkan nafsu-nafsunya. Jika
nafsu itu kenyang, ia akan merajalela mengajak pada kejahatan. Tetapi jika ia
lapar maka ia akan mudah ditundukan. Rasulullah SAW bersabda,
“Wahai kaum
muda, barang siapa di antara kalian merasa sudah punya bekal hendaklah ia
menikah, karena sesungguhnya menikah itu dapat memejamkan pandangan mata dan
menjaga kehormatan. Dana barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia
berpuasa, karena puasa itu dapaat meredam nafsu”
Menurut Rasulullah SAW, puasa itu mampu
mengekang nafsu, sehingga mencegah dirinya untuk berbuat kezhaliman dan
kejahatan. Puasa adalah cara yang paling ampuh untuk mencegah nafsu dari
berbuat maksiat.
Selain itu, puasa sekaligus merupakan
cara yang paling efektif untuk memperbaiki dan mendidik jiwa. Puasa mendidik
seseorang untuk menjunjung tinggi kejujuran dan kesetiaan, mondorong untuk
bersabar menghadapi kesulitan-kesulitan. Jika sifat-sifat terpuji tadi mampu
menyelematkan seseorang memakan barang-barang halal yang dibutuhkan demi
mencari keridhaan Allah dan takut pada siksa yang pedih, apalagi
menyelamatkannya dari barang-barang haram yang tidak dibutuhkan, sehingga orang
yang berpuasa lalu tidak mau berdusta, tidak mau berkhianat, tidak mau
melanggar janji, tidak mau berbuat pamrih, dan seterusnya. Puasa selain
menyebabkan orang menjauhi larangan-larangan-Nya, juga dapat menguatkan tekad
dan mendorongnya melakukan hal-hal yang nista. Semua itulah yang diisyaratkan
oleh Allah dengan firman-Nya, “agar kamu
bertakwa” (Al-Baqarah; 183)
Puasa dapat mendorong orang untuk
mensyukuri nikmat, karena ia mampu mencegah seseorang mengkonsumsi makanan dan
minuman serta menggauli istri. Semua itu merupakan nikmat-nikmat utama yang
dianugerahkan Allah kepada makhluk-Nya. Menahan diri dari semua nikmat tersebut
selama seharian penuh akan memperkenalkan seseorang akan kadar dirinya. Sebab
orang baru akan menyadari keutamaan suatu nikmat manakala hal tersebut hilang
darinya. Sehingga ia lalu bergerak untuk mensyukurinya dan mensyukuri nikmat
itu merupakan hukum yang wajib..
Sesungguhnya puasa itu mendorong
seseorang untuk menyayangi orang-oraang yang miskin dan mengasihi orang-orang
yang dalam kesusahan. Sebab apabila seseorang itu suatu saat mengalami
kelaparan, ia akan ingat pada orang yang selalu kelaparan setiap saat. Sehingga
ia lalu segera mengasihi dan berbuat baik kepadanya.
Puasa juga dapat menjaga tubuh dari
berbagai kuman dan bakteri yang membahayakan serta dapat menyembuhkan dari
berbagai penyakit. Banyak manfaat kesehatan yang daapat diperoleh dari berpuasa
dan hal itu telah dibuktikan dalam berbagai penelitian.
Pada dasarnya, tubuh seseorang itu
berpotensi untuk berkembang dan meningkaat. Setiap tahun perlu adanya
upaya-upaya pendukung agar menjadi semangat, kuat dan terhindar dari berbagai
penyakit. Dan satu-satunya cara adalah dengan mencegahnya tidak makan
terus-menerus. Seorang dokter yang pintar pasti akan meminta pasiennya untuk
menghindari makanan tertentu agar pembuluh darahnya bersih sehingga bagus
menerima obaat. Demikian pula halnya dengan puasa, ia akan sanggup membersihkan
pembuluh darah seseorang dari kemaaksiatan sehingga mudah untuk dimasuki
rahmat.
PUASA DALAM
PERSPEKTIF PSIKOLOGI
Puasa merupakan salah satu perilaku manusia yang merupakan
bentuk ritualistik dalam teori stark tentang aspek aspek dari
religiusitas.ritual puasa ini ada pada setiap agama. puasa merupakan bentuk
ritual menahan untuk tidak makan dan minum serta menahan dorongan nafs. dalam
kajian psikologi psikoanalisa disebutkan bahwa manusia memiliki kecenderungan
untuk memperturutkan dorongan ID nya yang bersumber dari kebutuhan fisik.
a.
Puasa
dalam kajian teori psikoanalisa
Kenapa
ritual puasa ini penting bagi perkembangan psikis seseorang, tidak lain proses
“menahan” inilah yang menempatkan puasa menduduki ritual penting. Menahan untuk
tidak makan dan minum menjadikan superego lebih kuat dalam diri seseorang serta
memperkuat ego agar tidak mengikuti dorongan dorongan biologis yang mengarah
kepada kepuasan dan kenikmatan (pleasure principle). Konstelasi kejiwaan yang
demikian akan menyebabkan kehidupan psikis secara keseluruhan lebih baik
(psichological well being).
Perkembangan
superego sebagai kekuatan moral dan etika pertama kali dimulai proses
”menahan” yaitu pada saat si Anak mulai diajarkan “toilet trainning” dimana
anak di ajarkan “menahan” dari buang air kecil dan air besar agar membuangnya
ditempat yang bermoral yaitu toilet. Dari sinilah si anak mulai mengenal
adanya salah dan benar, baik dan buruk, mengenal adanya etika atau tidak,
bermoral atau tidak, sehingga berawal dari dasar inilah penanaman etika lainnya
mulai bisa terapkan secara bertahap.
b.
Puasa
dalam kajian teori Maslow
Maslow
mengatakan perilaku manusia dimotivasi oleh sesuatu yang mendasar. Secara
berurutan, dari bawah yaitu fisiologi (makan, minum, seks), rasa aman, kasih
sayang, harga diri dan aktulisasi diri. Puncak tertingginya adalah aktualisasi
diri. Seorang manusia sudah tidak berpikir tentang harga diri, jika dirinya
bisa menuangkan idealisme, berkonsentrasi penuh dalam aktivitas yang
dicintainya. Sebaliknya, motivasi dasar seorang manusia yang melakukan tindak
pencurian, mayoritas adalah karena rasa lapar. Ketiadaan bahan makanan membuat
mereka termotivasi mengambil yang bukan haknya. Gerombolan perampok selalu
diawali karena kepapaan kolektif, kemiskinan yang marak menggejala. Sehingga
selalu saja, alasan tindak kejahatan mayoritas adalah soal ekonomi yang minim. Seorang
pencuri ketika digelandang polisi, mungkin masih bisa tersenyum bahkan
tertawa-tawa. Hal itu, karena dia tidak membutuhkan rasa aman atau harga diri.
Bandingkan dengan mayoritas kita yang menyelamatkan muka dari malu adalah
tindakan yang utama. Digelandang polisi adalah sebuah hal yang sangat
memalukan. Gengsi itu bagian dari piramida ketiga Maslow.
Di sini
muncul sebuah kesimpulan, harusnya rasa lapar menimbulkan efek kemarahan atau
keinginan memberontak. Ini logika umum yang terjadi dalam kasus pencurian. Rasa
lapar menciptakan imajinasi dan keinginan yang sewaktu-waktu laten bisa muncul
dalam diri seseorang. Tetapi, yang menjadi ambigu adalah ketika seorang muslim
berpuasa (yang artinya berada dalam kelaparan selama sehari penuh), justru
menciptakan ketenangan. Di wilayah ini, teori Maslow mendapat sanggahan secara
praktikal dari kalangan Muslimin. Karena justru dalam praktik sejarah, banyak
sekali para pelaku jalan spiritual melakukan tindak kelaparan ini untuk
menaikkan derajat kemanusiaan, menghaluskan budi, menerawang masa depan,
menjernihkan nurani dan mencapai posisi muthmainnah (ketenangan) batin. Mereka
yang disebut sufi menjadi lapar dan sekaligus soleh. Justru bukan brutal, marah
atau anarkis.
c.
Sharpening
The Saw
Di Barat,
banyak orang yang belum memahami inti dari (ibadah) puasa dalam Islam. Mereka
mengira pemeluk Islam yang bersengaja mengosongkan perut seharian penuh adalah
para penganut mashocist, yaitu kaum yang suka menyakiti diri sendiri.
Penjelasan rasional apapun belum bisa diterima. Mereka akan diam jika seorang
muslim katakan, saya seorang mashocist. Karena memilih untuk menganut sebuah
praktik kehidupan adalah bagian dari demokrasi personal yang harus dihormati.
Padahal, pemahaman itu sangat salah. Ramadan adalah saat di mana terjadi
pengasahan kepekaan spiritual dan intelektual. Siklus hidup diatur sedemikian
rupa, laku ritual dinaikkan intensitasnya. Di saat bersamaan ledakan keinginan
negatif dilakukan dengan ketat. Menjadi lapar adalah pilihan, tapi berbeda
dengan lapar biasa, dalam Ramadan warna, nilai dan spirit yang dikedepankan
adalah ihsan. Perasaan selalu berada dalam pengawasan Tuhan.
Itulah
sebabnya, teori yang memiliki korelasi dengan puasa justru adalah langkah
ketujuh dari The Seven Habits: The Most Effective People (1997) karangan Steven
R Covey, yaitu “mengasah gergaji” (sharpen the saw). Kebiasaan mengasah gergaji
dihasilkan dari kemampuan pembaruan diri yang diaktualkan secara optimal. Dikatakan
kebiasaan efektif karena dengan terus mengasah gergaji (baca: pengembangan
diri) dapat mengurangi kemungkinan yang menyebabkan kegagalan atau kelambanan
menyelesaikan masalah akibat perubahan keadaan.
Salah satu
kebiasaan efektif yang mampu merubah manusia menjadi berhasil adalah
kemampuannya untuk mengasah terus menerus segala tools of life yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya. Termasuk dalam hal ini adalah jasad, kepekaan
intelektual dan ruh spiritual. Model pelatihan itu sudah didesain sedemikian
rupa berbentuk siklus tahunan.
Kehidupan
adalah panggung masalah. Banyak profesional di dunia modern setelah mendapatkan
seluruhnya, justru mengalami kegamangan. Padahal kebutuhan fisiologis (rumah,
makana, minum, seks, dll) serta hierarki Maslow di atasnya sudah terpenuhi.
Bahkan mereka sudah beraktualisasi diri, yaitu tingkat tertinggi dari hierarki
Maslow. Puasa Ramadan benar-benar menjadi arena penyadaran. Dalam satu bulan
siklus tahunan itu, disadarkan bahwa makan, minum dan seks bukanlah kebutuhan
utama. Puasa meningkatkan derajat kebutuhan manusia kepada jenjang yang lebih
tinggi, yaitu “pengabdian total pada Tuhan”. Sayang, motivasi ini tidak tertera
dalam puncak piramida Maslow.
Tetapi untunglah, sempat diceritakan
dalam buku Stephen R Covey dan Roger Merill yang berjudul First Things First
(sekuel Seven Habits), Maslow dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya (wafat
1970), telah merevisi teorinya tersebut. Menurut Covey, Maslow mengakui bahwa
aktualisasi diri (self actualization) bukanlah kebutuhan tertinggi. Namun masih
ada lagi yang lebih tinggi, yaitu self transcendence atau hidup itu mempunyai
suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya. Mungkin yang dimaksud Maslow
adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup bertuhan dan beragama, atau yang
sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual. Tujuan tertinggi manusia
hidup sejatinya adalah self transcedence. Membersihkan nurani, membebaskan
keinginan negatif dan mendamba perjumpaan hakiki dengan Yang Kuasa.
MELATIH
ANAK-ANAK UNTUK BERPUASA
Berpuasa merupakan ibaddah yang
dirasakan berat bagi sebagian, lebih-lebih jika ibadah ini tidak dibiasakan
sejak masa anak-anak. Oleh karena itu, penting sekali untuk mendidik dan
membiasakan anak-anak berpuasa, walaupun anak-anak dibebaskan dari kewajiabn
puasa mengingat tubuhnya masih
benar-benar membutuhkan makanan dan mereka belum memahami makna puasa. Tetapi
mengarahkan dan mendidik anak-anak untuk biasa berpuasa mungkin saja dilakukan,
untuk itu perlu terlebih dahulu mengenal sedikit kondisi kejiwaan anak-anak.
Anak-anak yang dimaksud adalah
antara umur 3 sampai sekitar umur 11 tahun, yang mencakup tahap-tahap:
a. Masa Prasekolah : 3 – 5 tahun
b. Masa Peralihan : 5 – 6 tahun
c. Masa Sekolah : 6 – 11 / 12 tahun
Masing-masing tahap menunjukan
tanda-tanda dan kekhususan sendiri.
Hal-hal penting yang harus
diperhatikan dalam masa ini yaitu;
a. Suasana lingkungan (keluarga, teman
bermain, sekolah) sangat besar pengaruhnya pada anak-anak
b. Proses peniruan banyak dilakukan
oleh anak-anak, baik meniru hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk.
c. Corak pemikiran anak-anak masih pada
taraf berpikir konkrit, dan masih sulit diajak berpikir abstrak
d. Proses pembiasaan akan sangat
berbekas bila dilakukan sejak kecil
e. Faantasi dan perasaan sangat dominan
pada masa anak-anak.
Pendidikan agama dan melaksanakan
ibadah pada umumnya, serta ibadah puasa pada khususnya banyak tergantung dari
situasi keluarga. Anak-anak dari
keluarga religious yang secara nyata menjalankan ibadah dan kewajiban-kewajiban
agama biasanya lebih mudah menerima ketentuan-ketentuan agama daripada
anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang perhatiannya terhadap agama.
Khusus dalam hal puasa, pada
anak-anak kecil dengan sendirinya tidak perlu banyak menjelaskan masalah
manfaat dan hikmahnya, mereka akan lebih terkesan mengamati contoh-contoh nyata
pengamalan ibadah puasa dilingkungan keluarga sendiri. Untuk jelasnya, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mendidik anak-anak berpuasa;
a. Biasakan anak melihat anggota
keluarganya berpuasa. Jelaskan kepada mereka bahwa anggota keluarganya sedng
berpuasa dan tidak boleh makan serta minum pada siang hari.
b. Ikut sertaka anak-anak berbuka puasa
bersama dan ciptakan suasana berbuka puasa bersama dan ciptakan suasa berbuka
yang menyenangkan serta penuh keakraban.
c. Bila tidak mengganggu waktu
tidurnya, ada baiknya bila sekali-sekali mengajak anak makan sahur bersama,
walaupun mereka tidak puasa.
d. Untuk anak-anak yang agak besar,
bujuklah mereka untuk mencoba berpuasa walaupun tidak sepenuh hari. Berilah
pujian dan sediakan makanan / hadiah khusus bila mereka berhasil puasa sampai
magrib.
e. Jangan mengejek, menancam atau
menakut-nakuti anak bila ia tidak puasa, karena hal itu akan menimbulkan kesan
tak menyenangkan terhadap puasa dan ibadah-ibadah lainnya.
f. Gembirakan mereka paada hari raya.
Betapa pentingnya membiasakan
anak-anak berpuasa dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya sejak dini dalam
suasana keagamaan yang baik. Kenangan manis masa kecil pada saat-saat puasa,
berbuka dan makan sahur bersama biasanya lekat dengan indahnya dalam ingatan
setiap orang. Yang penting dalam hal ini adalah cara mendidik dan suasana
kekeluargaan yang akrab dan religious. Dengan demikian, diharapkan perkembangan
kepribadian mereka selalu didasari oleh nilai-nilai agama, sehingga tanpa
disadari setiap rumah tangga sebenarnya teah menumbuhkan pribadi-pribadi muslim
sebagai calon pemimpin-pemimpin masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
As-Sayyid, R. F. (2002). Puasa Sebagai Terapi Penyembuhan Berbagai
Penyakit. Jakarta: Hikmah.
Arief, S. (2012, Januari 21). Puasa
dalam kajian psikologi. Retrieved Desember 21, 2013, from Syaiful Arief:
http://ipulspnpwt.blogspot.com/2012/01/puasa-dalam-kajian-psikologi.html
Bastaman, Hanna Djumhana. (2005). Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju
Psikologi Islami. Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil
Mahfuz, Syaikh M.J. (2001). Psikologi Anak daan Remaja Muslim. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar